Translate

Rabu, 11 Juli 2012

AGAMA DALAM MASYARAKAT (DIMENSI SOSIAL AGAMA)




Pengalaman religius manusia tidak mungkin tidak diungkapkan kepada orang lain. Pengalaman religius itu diceritakan, dirayakan, dan diwujudkan dalam kebersamaan dengan orang lain. Orang-orang yang memiliki pengalaman religius yang sama membentuk persekutuan atau kelompok orang-orang yang memiliki pengalaman religius yang sama itu. Kelompok-kelompok ini diatur secara jelas baik dalam hal tata ibadat, perilaku, maupun ajaran dasar tentang iman. Kelompok inilah yang disebut agama. Agama selalu mengandung arti pelembagaan, atau pengaturan hidup beriman. Sebagaimana dinyatakan Swidler, setiap agama harus memenuhi syarat 4Cs, yaitu creed (kepercayaan kepada ”sesuatu” yang dianggap sebagai kebenaran tertinggi), code (tata perilaku yang diatur selaras dengan kepercayaan tadi), cult (upaya-upaya agar semakin dekat dengan inti kepercayaan, misalnya : ibadat, kebaktian), community (persekutuan, atau kelompok orang yang bersama-sama menghayati, merayakan, dan ingin mewujudkan apa yang dipercayai) 

Pluralitas

Pengalaman religius kelompok-kelompok agama amat beragam, yang dirumuskan dalam ajaran-ajaran yang beragam, diwujudkan dalam perilaku yang beragam, serta dirayakan dalam ibadat yang beragam pula. Semua kelompok tersebut berada dalam masyarakat atau dunia yang satu ini. Maka mau tidak mau keberagaman (pluralitas) ini harus diterima sebagai kenyataan: ada banyak agama, sekte, atau denominasi dalam masyarakat atau dunia ini. Oleh karena itu tidak bisa dihindari terjadinya pelbagai proses yang diakibatkan oleh pertemuan antar kelompok-kelompok agama itu. Misalnya: proses sinkretisme, adaptasi, akulturasi, dan inkulturasi. Terdapat pelbagai sikap agama yang satu terhadap agama yang lain. Misalnya: indiferentisme, relativisme, fanatisme dll. Dalam pergaulan antar pemeluk agama dapat terjadi sikap polemis, apologetis, toleransi , dan dialog.
Paradigma lama menyatakan bahwa kebenaran dan keselamatan hanya ada di dalam Agamaku sendiri. Agama-agama lain dianggap tidak dapat membawa keselamatan dan tidak memiliki kebenaran. Dengan cara pandang seperti ini, hubungan antar agama yang satu dengan agama yang lain hanyalah saling mencurigai, dan saling memusuhi, kaena menganggap ”Agamaku” sendiri yang paling mengandung kebenaran dan dapat menjadi sumber keselamatan.
Paradigma baru menyatakan bahwa semua agama mengandung kebenaran mereka masing-masing, karena didasari oleh ajaran-ajaran yang benar, sumber-sumber pengalaman religius, dan narasi yang benar. Agama-agama ini juga dapat menjadi sarana keselamatan sebagaimana diyakini oleh para pengikutnya.
Kita yang hidup di Indonesia ini harus menerima kenyataan keberagaman {pluralitas} ini. Ada banyak agama di Indonesia, dengan pelbagai sekte atau denominasi. Kita tidak bisa menolak kenyataan ini, bahwa agama-agama yang bermacam-macam itu memiliki kebenaran dan dapat menjadi sarana keselamatan bagi pengikutnya. Namun, tidaklah benar bahwa semua agama sama saja. Setiap agama memiliki inti iman dan ajaran masing-masing, yang tidak bisa disamakan begitu saja satu sama lain. Begitu pula bila ditelaah dengan akal sehat, mungkin saja ada sekte-sekte yang menyesatkan, misalnya: Kemah Daud. Maka menyikapi adanya banyak kelompok keagamaan tersebut sungguh mengajarkan kebenaran, dan menjanjikan keselamatan yang sesungguhnya. Maka memang kita tidak bisa menyamakan  begitu saja kelompok-kelompok agama yang ada.
Hidup beragama jelas sekali terjadi dalam masyarakat nyata. Hidup beragama bukanlah kenyataan yang mengawang di langit. Maka mau tidak mau agama mesti berhadapan dengan kenyataan hidup bermasyarakat. Dalam pertemuan antara agama dan masyarakat dapat terjadi kemungkinan: agama menolak masyarakat karena masyarakat dianggap tidak suci, kotor atau jahat. Agama dapat pula menerima masyarakat, bahkan dapat mengubah secara positif masyarakat. Dalam hubungan antara agama dan negara, dapat terjadi kemungkinan-kemungkinan: negara menolak agama, negara menyatu dengan agama, atau negara terpisah dari agama, atau negara dan agama bekerja sama.

Sekularisasi

Telah berabad-abad dunia ini ”dikuasai” oleh agama. Pada abad pertengahan (abad 4 s.d 14) agama sangat dominan. Pikiran dan perbuatan manusia digerakkan, diatur, dan dikendalikan oleh agama. Kepercayaan-kepercayaan dalam agama, dan ajaran-ajaran agama begitu kuat tertanam dalam hati setiap manusia beragama, sampai-sampai manusia tidak berpikir lagi dengan menggunakan akal sehat. Dogma dan ajaran-ajaran agama diterima begitu saja, sehingga manusia belum memiliki jati dirinya sebagai makhluk yang berpikir. Kekuatan dan cengkeraman agama yang begitu kuat dalam diri setiap manusia tentu juga bedampak negatif. Tidak ada control kritis dari umat terhadap agama atau para pemimpin agama. Terjadi penyelewengan-penyelewengan sosial: baik keuangan, maupun perilaku. Oleh karena penyelewengan-penyelewengan yang terjadi atas nama agama, maka ”agama digugat”.
Bersama dengan gerakan-gerakan budaya dan intelektual yang menekankan pentingnya kesadaran diri sebagai individu (renaissance), dipicu oleh penyelewengan-penyelewengan atas nama agama, semakin tumbuhlah kesadaran dir manusia sebagai pribadi otonom, kaena memiliki ratio atau akal sehat. Di bidang religius kesadaran mausia sebagai subjek otonom memunculkan gerakan reformasi, yang kemudian memunculkan agama Protestan. Di bidang filsafat munculah geakan rasionalisme, yang menuntut segala hal untuk disensor dengan rasio. Tidak ada dogma atau tradisi yang dapat begitu saja diturunkan. Semuanya harus dirumuskan dengan penelitian ilmiah yang dari slogan liberte, egalite, fraternite. Setiap orang bebas, setiap orang sederajad, dan setiap orang besaudara. Hanya saja, ideologi Nasionalisme menentang agama yang mengajarkan persaudaraan dengan siapa saja. Nasionalisme membatasi persaudaraan hanya pada orang-orang yang memiliki data-data kelahiran (natio) yang sama. Ideologi Nasionalisme mencita-citakan kesejahteraan bersama orang-orang yang memiliki data-data kelahiran (ras, bahasa, budaya) yang sama yang digabung dalam sebuah nation-state (Negara bangsa). Maka berkembanglah negara-negara bangsa, khusunya di Eropa. Perkembangan negara-negara tersebut selanjutnya mendorong terjadinya penjajahan tehadap negara-negara lemah, yang akan dijadikan sarana untuk menyejahteraka nation-state di atas.
Pelbagai gerakan seperti digambarkan di atas bisa disebut sebagai sebuah proses yang terjadi atas dunia (masyarakat) ini. Dunia yang pada abad pertengahan begitu dikuasai oleh agama terus menerus berproses untuk menemukan identitas sendiri sebagai dunia (masyarakat) dengan terus menerus melepaskan diri dari campur tangan agama. Proses demikian disebut sekularsasi, (berasal dari kata saeculum yang berarti dunia).

1.      Arti harafiah Sekularisasi

Arti harafiah sekularisasi adalah Negara merebut (mengambil alih) harta milik agama (gereja di Eropa). Sebagaimana ditulis di atas ideologi Nasionalisme mempunyai cita-cita yang terhambat oleh agama. Umat beragama begitu tunduk pada dogma dan dengan menciptakan segala macam unsur tandingan dari agama. Nasionalisme menciptakan: ritual upacara bendera, lagu kebangsaan, konstitusi, pahlawan, cerita-cerita kepahlawanan dsb. sebagai tandingan atas kebaktian, lagu-lagu rohani, injil, santo-santa, dan kisah-kisah suci yang terdapat dalam agama. Perang langsung antara Nasionalisme dan agama terjadi diperebutan tanah-tanah milik gereja yang kemudian dijadikan milik Negara.

2.      Sekularisasi di bidang keagamaan

Di zaman modern agama pun mengalami proses pemurnian diri selaras dengan pemikiran modern. Dengan sekularisasi, maka kehidupan beragama pun semakin mempengaruhi akal sehat. Proses sekularisasi dalam hidup beragama terjadi dalam aspek. Pertama, alam semesta tidak lagi dikuasai oleh roh-roh gaib yang tidak masuk akal. Alam semesta ini sudah bersig diselamatkan oleh Tuhan. Alam semesta ini sudah bersih diselamatkan oleh Tuhan. Alam semesta memiliki otonominya sendiri. Kepercayaan pada roh-roh gaib yang menguasai alam semesta tidak bisa dipertangjawabkan dengan akal sehat dan dapat menyesatkan. Ini tidak selaras dengan kehidupan beragama modern. Kedua, dilakukan penelitian-penelitian ilmiah/rasional atas Kitab Suci, tradisi, dan dogma. Munculah ilmu teks(Filologi) yang mempelajari sejarah teks Kitab Suci, penyuntingan naskah, dan penerjemahan. Tradisi dan dogma tidak begitu saja ditetapkan, tetapi didahului dengan penelitian ilmiah. Ketiga, cara memperlakukan Tuhan juga lebih rasional. Tuhan tidak dianggap sebagai otomat yang akan setiap saat mengabulkan permohonan manusia, tetapi diyakini bahwa Tuhan memberikan potensi-potensi pada manusia dan  kemampuan manusia untuk mengembangkan potensi itu. Cara memperlakukan Tuhan secara demikian, lebih dewasa dan tidak kekanak-kanakkan. Disatu sisi tetap mempercayai kekuasaan Tuhan dan bersyukur atas potensi-potensi yang dianugerahkan. Disisi lain bukan dalam segala hal, termasuk hal-hal yang amat sepele manusia memohon pada Tuhan.
Bagaimana tanggapan anda atas sekularisasi di bidang keagamaan ini? Apakah dampak positif bagi kehidupan beragama?


3.      Sekularisasi di Bidang Budaya

Sekularisasi dibidang budaya berarti pengembangan kebudayaan, bahasa, pendidikan, kesenian dll sama sekali tidak melibatkan moral dan agama. Sekularisasi dibidang budaya berkembang mutlak menjadi sekularisme, karena sama sekali mengakui moral dan agama. Jelas sekali sekularisme pantas ditolak.

4.      Sekularisme di Bidang Politik

Sekularisasi dibidang politik berarti kehidupan politik terus menerus dikembangkan sehingga semakin rasional. Misal: dalam menetapkan pemimpin politik, sungguh-sungguh dipilih pemimpin yang mampu memimpin. Diciptakan mekanisme pemilihan pemimpin secara langsung oleh rakyat atau model perwakilan digunakan sedemikian rupa sehingga tujuan memilih pemimpin yang mampu sungguh tercapai. Sebalikya model penetapan pemimpin secara tradisional, atau turun temurun tidak diberlakukan lagi, karena penetapan pemimpin secara turun temurun tidak menjamin bahwa setiap keturunan pemimpin memang punya kemampuan untuk memimpin. Di sampng itu, penetapan pemimpin secara turun temurun sudah memperlihatkan perlakuan secara tidak sama pada seseorang (asas egalite dilanggar). Terlihat bahwa seseorag telah memiliki kedudukan yang lebih dari yang lain, karena ia keturunan seorang pemimpin.
Sekularisasi dibidang politik juga berarti terdapat pemisahan antara urusan politik dan agama. Urusan politik ditangani oleh penguasa politik (pemerintah), sedangkan urusan agama ditangani oleh ulama dan para pengurus agama. Tokoh-tokoh agama tidak boleh masuk didalam urusan politik praktis. Sebaliknya pemerintah tidak boleh campur dalam soal-soal keagamaan.
Bagaimanakah sekularisasi dibidang politik di Indonesia? Apakah sekularisasi dibidang olitik akan membawa kemajuan bagi bidang politik? Apakah agama dirugikan dengan adanya sekularisasi dibidang politik ini?

Kebebasan Beragama

Undang0undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2 menjamin kebebasan beragama bagi setiap pemeluk agama. Namun, pada kenyataannya kasus-kasus masih terjadi berkaitan dengan dijin mendirikan bangunan gereja, larangan oleh sebagian masyarakat untuk mengadakan kebaktian, larangan untuk mengadakan persekutuan dsb. Artinya, jaminan yuridis saja ternyata belum cukup. Masih dibutuhkan keberanian untuk memperjuangkan kebebasan beragama itu dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk mempunyai keberanian itu dibutuhkan pengetahuan yang cukup tentang kebebasan beragam itu. Maka, kita semua (mahasiswa) harus tahu persis kebebasan bergama itu apa, agar kemudian berani memperjuangkannya bila kebebasan bergama itu dihambat.

1.      Arti Kebebasa

Kebebasan, pertama, dapat diartikan sebagai keadaan seseorang yang mampu, bisa, boleh, dapat atau tidak dilarang untuk melakukan tindakan sesuai dengan keputusan hati nuraninya sendiri. Kedua, kebebasan juga berarti keadaan seseorang yang tidak dipaksa untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan keputusan hati nuraninya. Kedua arti ini harus dipenuhi bersama untuk dapat disebut ”bebas”.
Kalau mengartikan Kebebasan Beragama, maka arti kebebasan umum ini harus diterapkan secara khusus dalam hal beragama. Supaya cakupan kebebasan beragama bisa lengkap maka harus Kebebasan Beragama harus dilihat dari tujuh dimensi agama.

2.      Kebebasan Beragama dari Tujuh Dimensi

a. Dimensi Eksperiensial
           
Seseorang disebut memiliki Kebebasan Beragama dilihat dari dimensi eksperiensial berarti orang tersebut dapat, boleh, atau tidak dilarang mengalami pengalaman religius di manapun ia berada. Ia dapat, boleh atau tidak dilarang mengungkapkan pengalaman religius yang ia alami, misalnya dalam ibadat. Di samping itu ia tidak dipaksa untuk mengalami atau mengakui pengalaman religius yang memang tidak ia alami.

b. Dimensi Naratif

Seseorang memiliki Kebebasan Beragama dilihat dari dimensi naratif berarti orang tersebut dapat, boleh, atau tidak dilarang mempercayai cerita-cerita keagamaan baik yang ditulis dalam buku-buku biasa maupun dalam Kitab Suci yang ia percayai. Ia dapat, boleh, atau tidak dilarang mewartakan atau memberi kesaksian tentang cerita-cerita keagamaan, termasuk melalui tulisan-tulisan, gambar atau film. Di samping itu ia tidak dipaksa untuk menerima, mengakui, atau membaca cerita-cerita keagamaan di dalam buku-buku maupun Kitab Suci yang memang tidak ia percayai.
Kasus yang terjadi: pelarangan terhadap film-film keagamaan, penyebaran karikatur Nabi Mohammad SAW.

c. Dimensi Ritual

Seseorang memiliki Kebebasan beragama dilihat dari dimensi ritual, berarti orang tersebut dapat, boleh, atau tidak dilarang merayakan ibadat, kebaktian, ritual sesuai dengan agamanya. Di samping itu, juga tidak dipaksa untuk mengikuti ibadat, kebaktian atau rituan yang tidak sesuai dengan agamanya.
Kasus yang terjadi: memaksa orang-orang untuk mengikuti ritual yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Orang-orang yang mengikuti perayaan itu menjadi korban pemaksaan, sehingga dalam keadaan itu mereka tidak memiliki Kebebasan Beragama.

d. Dimensi Moral: etikal dan legal

Seseorang memiliki Kebebasan Beragama, dilihat dari dimensi moral: etikal dan legal, berarti orang tersebut dapat, boleh atau tidak dilarang bertingkah laku atau bertindak yang baik sesuai dengan hukum atau peraturan-peraturan agamanya.Di samping itu, ia juga tidak dipaksa untuk bertingkah laku atau bertindak yang tidak sesuai dengan hukum atau peraturan-peraturan agamanya.
Kasus yang terjadi: larangan makan daging bagi pemeluk agama tertentu, sementara itu masakan yang dihidangkan mengabaikan larangan tersebut.

e. Dimensi Doktrinal

Seseorang memiliki Kebebasan Beragama, dilihat dari dimensi Doktrinal, berarti orang tersebut dapat, boleh, atau tidak dilarang mempercayai, menerima, bahkan mengajarkan pada orang lain ajaran-ajaran agamanya. Di samping itu, ia juga tidak dipaksa untuk mempercayai, atau menerima ajaran-ajaran agama yang tidak sesuai dengan hati nuraninya.
Kasus yang terjadi: pemaksaan atas penduduk untuk menerima ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan hati nurani mereka. Contoh: kasus di pedalaman Kalimantan.

f. Dimensi Sosial

Seseorang memiliki Kebebasan Beragama, dilihat dari dimensi sosial, berarti orang tersebut dapat, boleh atau tidak dilarang membentuk persekutuan atau kelompok untuk mengungkapkan iman kepercayaannya. Dalam persekutuan atau kelompok itu dapat dilakukan doa bersama, pendalaman Kitab Suci, pengajian dsb. Dalam persekutuan atau kelompok itu juga dapat dilakukan aksi sosial bersama untuk masyarakat, misal: bakti sosial, pasar murah dsb. Membentuk persekutuan atau kelompok ini merupakan kebutuhan pokok bagi orang-orang beragama. Disamping itu, ia juga tidak dipaksa untuk menggabungkan dalam persekutuan atau kelompok yang tidak sesuai dengan keyakinan agamanya.
Kasus yang terjadi: hambatan oleh sekelompok orang untuk diadakan doa bersama dalam keluarga-keluarga.

g. Dimensi Materi

Seseorang memiliki Kebebasan Beragama, dilihat dari dimensi materi, berarti orang tersebut dapat, boleh, atau tidak dilarang untuk menggunakan materi-materi sebagai sarana peribadatannya. Misalnya: lilin, rosario, salib, patung, air suci dsb. Secara berkelompok, orang tersebut dapat, boleh, atau tidak dilarang untuk menggunakan bangunan untuk peribadatan, atau dapat mendirikan bangunan untuk peribadatan. Di samping itu, ia tidak dipaksa untuk menggunakan barang-barang yang tidak sesuai dengan keyakinannya untuk sarana peribadatannya.
Kasus yang terjadi: ijin untuk mendirikan bangunan gereja dipersulit.

3.      Batas-batas Kebebasan Beragama

Kebebasan beragama dilihat dari tujuh dimensi di atas mutlak perlu agar seseorang dapat menghayati agamanya secara penuh. Namun, demikian apakah itu berarti bahwa Kebebasan Beragama tidak ada batasnya? Sebenarnya tidak ada satu pihak pun yang berwenang untuk membatasi kebebasan itu. Satu-satu batas adalah kebaikan manusia, atau kewajaran sebagai manusia. Pengalaman keagamaan, cerita keagamaan, ritual, hukum atau peraturan keagamaan, persekutuan, dan sarana-sarana peribadatan, semuanya perlu bagi hidup beragama. Namun, dengan akal sehat kita mestinya dapat menilai apakah itu semua masih digunakan dalam batasan kewajaran sebagai manusia.
Pernah terjadi seseorang mengaku mempunyai pengalaman religius tentang akan datangnya kiamat. Banyak orang dipengaruhi untuk percaya akan pengalaman itu, dan dipaksa untuk mengadakan ritual untuk menyambut kiamat tersebut. Tetapi sebenarnya dengan akal sehat, pengalaman religius demikian tidak mungkin dapat dibenarkan. Praktik ritual yang diadakan pun sudah amat membahayakan kemanusiaan. Maka dalam hal ini terpaksa harus ada pihak kepolisian yang membubarkan ritual itu.
Artinya, kebebasan beragaman toh mesti dibatasi dengan kewajaran dan kebaikan sebagai manusia. Silahkan gunakan akal sehat, untuk menilai praktik-praktik keagamaan yang masih berada dalam batas-batas kewajaran dan kebaikan sebagai manusia, atau yang sudah berada di luar batas kewajaran dan kebaikan sebagai manusia.     

Tidak ada komentar: