Pengalaman religius manusia tidak mungkin tidak diungkapkan kepada orang
lain. Pengalaman religius itu diceritakan, dirayakan, dan diwujudkan dalam
kebersamaan dengan orang lain. Orang-orang yang memiliki pengalaman religius
yang sama membentuk persekutuan atau kelompok orang-orang yang memiliki
pengalaman religius yang sama itu. Kelompok-kelompok ini diatur secara jelas
baik dalam hal tata ibadat, perilaku, maupun ajaran dasar tentang iman.
Kelompok inilah yang disebut agama. Agama selalu mengandung arti pelembagaan,
atau pengaturan hidup beriman. Sebagaimana dinyatakan Swidler, setiap agama
harus memenuhi syarat 4Cs, yaitu creed (kepercayaan kepada ”sesuatu”
yang dianggap sebagai kebenaran tertinggi), code (tata perilaku yang
diatur selaras dengan kepercayaan tadi), cult (upaya-upaya agar semakin
dekat dengan inti kepercayaan, misalnya : ibadat, kebaktian), community (persekutuan,
atau kelompok orang yang bersama-sama menghayati, merayakan, dan ingin
mewujudkan apa yang dipercayai)
Pluralitas
Pengalaman religius kelompok-kelompok agama amat
beragam, yang dirumuskan dalam ajaran-ajaran yang beragam, diwujudkan dalam
perilaku yang beragam, serta dirayakan dalam ibadat yang beragam pula. Semua
kelompok tersebut berada dalam masyarakat atau dunia yang satu ini. Maka mau
tidak mau keberagaman (pluralitas) ini harus diterima sebagai kenyataan: ada
banyak agama, sekte, atau denominasi dalam masyarakat atau dunia ini. Oleh
karena itu tidak bisa dihindari terjadinya pelbagai proses yang diakibatkan
oleh pertemuan antar kelompok-kelompok agama itu. Misalnya: proses sinkretisme,
adaptasi, akulturasi, dan inkulturasi. Terdapat pelbagai sikap agama yang satu
terhadap agama yang lain. Misalnya: indiferentisme, relativisme, fanatisme dll.
Dalam pergaulan antar pemeluk agama dapat terjadi sikap polemis, apologetis,
toleransi , dan dialog.
Paradigma lama menyatakan bahwa kebenaran dan
keselamatan hanya ada di dalam Agamaku sendiri. Agama-agama lain dianggap tidak
dapat membawa keselamatan dan tidak memiliki kebenaran. Dengan cara pandang
seperti ini, hubungan antar agama yang satu dengan agama yang lain hanyalah
saling mencurigai, dan saling memusuhi, kaena menganggap ”Agamaku” sendiri yang
paling mengandung kebenaran dan dapat menjadi sumber keselamatan.
Paradigma baru menyatakan bahwa semua agama
mengandung kebenaran mereka masing-masing, karena didasari oleh ajaran-ajaran
yang benar, sumber-sumber pengalaman religius, dan narasi yang benar.
Agama-agama ini juga dapat menjadi sarana keselamatan sebagaimana diyakini oleh
para pengikutnya.
Kita yang hidup di Indonesia ini harus menerima
kenyataan keberagaman {pluralitas} ini. Ada banyak agama di Indonesia, dengan
pelbagai sekte atau denominasi. Kita tidak bisa menolak kenyataan ini, bahwa
agama-agama yang bermacam-macam itu memiliki kebenaran dan dapat menjadi sarana
keselamatan bagi pengikutnya. Namun, tidaklah benar bahwa semua agama sama
saja. Setiap agama memiliki inti iman dan ajaran masing-masing, yang tidak bisa
disamakan begitu saja satu sama lain. Begitu pula bila ditelaah dengan akal
sehat, mungkin saja ada sekte-sekte yang menyesatkan, misalnya: Kemah Daud.
Maka menyikapi adanya banyak kelompok keagamaan tersebut sungguh mengajarkan
kebenaran, dan menjanjikan keselamatan yang sesungguhnya. Maka memang kita
tidak bisa menyamakan begitu saja
kelompok-kelompok agama yang ada.
Hidup beragama jelas sekali terjadi dalam
masyarakat nyata. Hidup beragama bukanlah kenyataan yang mengawang di langit.
Maka mau tidak mau agama mesti berhadapan dengan kenyataan hidup bermasyarakat.
Dalam pertemuan antara agama dan masyarakat dapat terjadi kemungkinan: agama
menolak masyarakat karena masyarakat dianggap tidak suci, kotor atau jahat.
Agama dapat pula menerima masyarakat, bahkan dapat mengubah secara positif
masyarakat. Dalam hubungan antara agama dan negara, dapat terjadi
kemungkinan-kemungkinan: negara menolak agama, negara menyatu dengan agama,
atau negara terpisah dari agama, atau negara dan agama bekerja sama.
Sekularisasi
Telah berabad-abad dunia ini ”dikuasai” oleh
agama. Pada abad pertengahan (abad 4 s.d 14) agama sangat dominan. Pikiran dan
perbuatan manusia digerakkan, diatur, dan dikendalikan oleh agama.
Kepercayaan-kepercayaan dalam agama, dan ajaran-ajaran agama begitu kuat
tertanam dalam hati setiap manusia beragama, sampai-sampai manusia tidak
berpikir lagi dengan menggunakan akal sehat. Dogma dan ajaran-ajaran agama
diterima begitu saja, sehingga manusia belum memiliki jati dirinya sebagai
makhluk yang berpikir. Kekuatan dan cengkeraman agama yang begitu kuat dalam
diri setiap manusia tentu juga bedampak negatif. Tidak ada control kritis dari
umat terhadap agama atau para pemimpin agama. Terjadi
penyelewengan-penyelewengan sosial: baik keuangan, maupun perilaku. Oleh karena
penyelewengan-penyelewengan yang terjadi atas nama agama, maka ”agama digugat”.
Bersama dengan gerakan-gerakan budaya dan
intelektual yang menekankan pentingnya kesadaran diri sebagai individu
(renaissance), dipicu oleh penyelewengan-penyelewengan atas nama agama, semakin
tumbuhlah kesadaran dir manusia sebagai pribadi otonom, kaena memiliki ratio
atau akal sehat. Di bidang religius kesadaran mausia sebagai subjek otonom
memunculkan gerakan reformasi, yang kemudian memunculkan agama Protestan. Di
bidang filsafat munculah geakan rasionalisme, yang menuntut segala hal untuk
disensor dengan rasio. Tidak ada dogma atau tradisi yang dapat begitu saja
diturunkan. Semuanya harus dirumuskan dengan penelitian ilmiah yang dari slogan
liberte, egalite, fraternite. Setiap orang bebas, setiap orang sederajad, dan
setiap orang besaudara. Hanya saja, ideologi Nasionalisme menentang agama yang
mengajarkan persaudaraan dengan siapa saja. Nasionalisme membatasi persaudaraan
hanya pada orang-orang yang memiliki data-data kelahiran (natio) yang
sama. Ideologi Nasionalisme mencita-citakan kesejahteraan bersama orang-orang
yang memiliki data-data kelahiran (ras, bahasa, budaya) yang sama yang digabung
dalam sebuah nation-state (Negara bangsa). Maka berkembanglah
negara-negara bangsa, khusunya di Eropa. Perkembangan negara-negara tersebut
selanjutnya mendorong terjadinya penjajahan tehadap negara-negara lemah, yang
akan dijadikan sarana untuk menyejahteraka nation-state di atas.
Pelbagai gerakan seperti digambarkan di atas bisa
disebut sebagai sebuah proses yang terjadi atas dunia (masyarakat) ini. Dunia
yang pada abad pertengahan begitu dikuasai oleh agama terus menerus berproses
untuk menemukan identitas sendiri sebagai dunia (masyarakat) dengan terus
menerus melepaskan diri dari campur tangan agama. Proses demikian disebut sekularsasi,
(berasal dari kata saeculum yang berarti dunia).
1. Arti harafiah Sekularisasi
Arti harafiah sekularisasi adalah Negara merebut
(mengambil alih) harta milik agama (gereja di Eropa). Sebagaimana ditulis di
atas ideologi Nasionalisme mempunyai cita-cita yang terhambat oleh agama. Umat
beragama begitu tunduk pada dogma dan dengan menciptakan segala macam unsur
tandingan dari agama. Nasionalisme menciptakan: ritual upacara bendera, lagu
kebangsaan, konstitusi, pahlawan, cerita-cerita kepahlawanan dsb. sebagai
tandingan atas kebaktian, lagu-lagu rohani, injil, santo-santa, dan kisah-kisah
suci yang terdapat dalam agama. Perang langsung antara Nasionalisme dan agama
terjadi diperebutan tanah-tanah milik gereja yang kemudian dijadikan milik
Negara.
2. Sekularisasi di bidang keagamaan
Di zaman modern agama pun mengalami proses
pemurnian diri selaras dengan pemikiran modern. Dengan sekularisasi, maka
kehidupan beragama pun semakin mempengaruhi akal sehat. Proses sekularisasi
dalam hidup beragama terjadi dalam aspek. Pertama, alam semesta tidak lagi
dikuasai oleh roh-roh gaib yang tidak masuk akal. Alam semesta ini sudah bersig
diselamatkan oleh Tuhan. Alam semesta ini sudah bersih diselamatkan oleh Tuhan.
Alam semesta memiliki otonominya sendiri. Kepercayaan pada roh-roh gaib yang
menguasai alam semesta tidak bisa dipertangjawabkan dengan akal sehat dan dapat
menyesatkan. Ini tidak selaras dengan kehidupan beragama modern. Kedua,
dilakukan penelitian-penelitian ilmiah/rasional atas Kitab Suci, tradisi, dan
dogma. Munculah ilmu teks(Filologi) yang mempelajari sejarah teks Kitab Suci,
penyuntingan naskah, dan penerjemahan. Tradisi dan dogma tidak begitu saja
ditetapkan, tetapi didahului dengan penelitian ilmiah. Ketiga, cara
memperlakukan Tuhan juga lebih rasional. Tuhan tidak dianggap sebagai otomat
yang akan setiap saat mengabulkan permohonan manusia, tetapi diyakini bahwa
Tuhan memberikan potensi-potensi pada manusia dan kemampuan manusia untuk mengembangkan potensi
itu. Cara memperlakukan Tuhan secara demikian, lebih dewasa dan tidak
kekanak-kanakkan. Disatu sisi tetap mempercayai kekuasaan Tuhan dan bersyukur
atas potensi-potensi yang dianugerahkan. Disisi lain bukan dalam segala hal,
termasuk hal-hal yang amat sepele manusia memohon pada Tuhan.
Bagaimana tanggapan anda atas sekularisasi di
bidang keagamaan ini? Apakah dampak positif bagi kehidupan beragama?
3. Sekularisasi di Bidang Budaya
Sekularisasi dibidang budaya berarti pengembangan
kebudayaan, bahasa, pendidikan, kesenian dll sama sekali tidak melibatkan moral
dan agama. Sekularisasi dibidang budaya berkembang mutlak menjadi sekularisme,
karena sama sekali mengakui moral dan agama. Jelas sekali sekularisme pantas
ditolak.
4. Sekularisme di Bidang Politik
Sekularisasi dibidang politik berarti kehidupan
politik terus menerus dikembangkan sehingga semakin rasional. Misal: dalam
menetapkan pemimpin politik, sungguh-sungguh dipilih pemimpin yang mampu
memimpin. Diciptakan mekanisme pemilihan pemimpin secara langsung oleh rakyat
atau model perwakilan digunakan sedemikian rupa sehingga tujuan memilih
pemimpin yang mampu sungguh tercapai. Sebalikya model penetapan pemimpin secara
tradisional, atau turun temurun tidak diberlakukan lagi, karena penetapan
pemimpin secara turun temurun tidak menjamin bahwa setiap keturunan pemimpin
memang punya kemampuan untuk memimpin. Di sampng itu, penetapan pemimpin secara
turun temurun sudah memperlihatkan perlakuan secara tidak sama pada seseorang
(asas egalite dilanggar). Terlihat bahwa seseorag telah memiliki kedudukan yang
lebih dari yang lain, karena ia keturunan seorang pemimpin.
Sekularisasi dibidang politik juga berarti
terdapat pemisahan antara urusan politik dan agama. Urusan politik ditangani
oleh penguasa politik (pemerintah), sedangkan urusan agama ditangani oleh ulama
dan para pengurus agama. Tokoh-tokoh agama tidak boleh masuk didalam urusan
politik praktis. Sebaliknya pemerintah tidak boleh campur dalam soal-soal
keagamaan.
Bagaimanakah sekularisasi dibidang politik di
Indonesia? Apakah sekularisasi dibidang olitik akan membawa kemajuan bagi
bidang politik? Apakah agama dirugikan dengan adanya sekularisasi dibidang
politik ini?
Kebebasan Beragama
Undang0undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2 menjamin
kebebasan beragama bagi setiap pemeluk agama. Namun, pada kenyataannya
kasus-kasus masih terjadi berkaitan dengan dijin mendirikan bangunan gereja,
larangan oleh sebagian masyarakat untuk mengadakan kebaktian, larangan untuk
mengadakan persekutuan dsb. Artinya, jaminan yuridis saja ternyata belum cukup.
Masih dibutuhkan keberanian untuk memperjuangkan kebebasan beragama itu dalam
kehidupan bermasyarakat. Untuk mempunyai keberanian itu dibutuhkan pengetahuan
yang cukup tentang kebebasan beragam itu. Maka, kita semua (mahasiswa) harus
tahu persis kebebasan bergama itu apa, agar kemudian berani memperjuangkannya
bila kebebasan bergama itu dihambat.
1. Arti Kebebasa
Kebebasan, pertama, dapat diartikan sebagai
keadaan seseorang yang mampu, bisa, boleh, dapat atau tidak dilarang untuk
melakukan tindakan sesuai dengan keputusan hati nuraninya sendiri. Kedua,
kebebasan juga berarti keadaan seseorang yang tidak dipaksa untuk melakukan
tindakan yang tidak sesuai dengan keputusan hati nuraninya. Kedua arti ini
harus dipenuhi bersama untuk dapat disebut ”bebas”.
Kalau mengartikan Kebebasan Beragama, maka arti
kebebasan umum ini harus diterapkan secara khusus dalam hal beragama. Supaya
cakupan kebebasan beragama bisa lengkap maka harus Kebebasan Beragama harus
dilihat dari tujuh dimensi agama.
2. Kebebasan Beragama dari Tujuh Dimensi
a. Dimensi Eksperiensial
Seseorang disebut memiliki Kebebasan Beragama
dilihat dari dimensi eksperiensial berarti orang tersebut dapat, boleh, atau
tidak dilarang mengalami pengalaman religius di manapun ia berada. Ia dapat,
boleh atau tidak dilarang mengungkapkan pengalaman religius yang ia alami,
misalnya dalam ibadat. Di samping itu ia tidak dipaksa untuk mengalami atau
mengakui pengalaman religius yang memang tidak ia alami.
b. Dimensi Naratif
Seseorang memiliki Kebebasan Beragama dilihat dari
dimensi naratif berarti orang tersebut dapat, boleh, atau tidak dilarang
mempercayai cerita-cerita keagamaan baik yang ditulis dalam buku-buku biasa
maupun dalam Kitab Suci yang ia percayai. Ia dapat, boleh, atau tidak dilarang
mewartakan atau memberi kesaksian tentang cerita-cerita keagamaan, termasuk
melalui tulisan-tulisan, gambar atau film. Di samping itu ia tidak dipaksa untuk
menerima, mengakui, atau membaca cerita-cerita keagamaan di dalam buku-buku
maupun Kitab Suci yang memang tidak ia percayai.
Kasus yang terjadi: pelarangan terhadap film-film
keagamaan, penyebaran karikatur Nabi Mohammad SAW.
c. Dimensi Ritual
Seseorang memiliki Kebebasan beragama dilihat dari
dimensi ritual, berarti orang tersebut dapat, boleh, atau tidak dilarang
merayakan ibadat, kebaktian, ritual sesuai dengan agamanya. Di samping itu,
juga tidak dipaksa untuk mengikuti ibadat, kebaktian atau rituan yang tidak
sesuai dengan agamanya.
Kasus yang terjadi: memaksa orang-orang untuk
mengikuti ritual yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Orang-orang yang
mengikuti perayaan itu menjadi korban pemaksaan, sehingga dalam keadaan itu
mereka tidak memiliki Kebebasan Beragama.
d. Dimensi Moral: etikal dan legal
Seseorang memiliki Kebebasan Beragama, dilihat
dari dimensi moral: etikal dan legal, berarti orang tersebut dapat, boleh atau
tidak dilarang bertingkah laku atau bertindak yang baik sesuai dengan hukum
atau peraturan-peraturan agamanya.Di samping itu, ia juga tidak dipaksa untuk
bertingkah laku atau bertindak yang tidak sesuai dengan hukum atau
peraturan-peraturan agamanya.
Kasus yang terjadi: larangan makan daging bagi
pemeluk agama tertentu, sementara itu masakan yang dihidangkan mengabaikan
larangan tersebut.
e. Dimensi Doktrinal
Seseorang memiliki Kebebasan Beragama, dilihat
dari dimensi Doktrinal, berarti orang tersebut dapat, boleh, atau tidak
dilarang mempercayai, menerima, bahkan mengajarkan pada orang lain
ajaran-ajaran agamanya. Di samping itu, ia juga tidak dipaksa untuk
mempercayai, atau menerima ajaran-ajaran agama yang tidak sesuai dengan hati
nuraninya.
Kasus yang terjadi: pemaksaan atas penduduk untuk
menerima ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan hati nurani mereka. Contoh:
kasus di pedalaman Kalimantan.
f. Dimensi Sosial
Seseorang memiliki Kebebasan Beragama, dilihat dari
dimensi sosial, berarti orang tersebut dapat, boleh atau tidak dilarang
membentuk persekutuan atau kelompok untuk mengungkapkan iman kepercayaannya.
Dalam persekutuan atau kelompok itu dapat dilakukan doa bersama, pendalaman
Kitab Suci, pengajian dsb. Dalam persekutuan atau kelompok itu juga dapat
dilakukan aksi sosial bersama untuk masyarakat, misal: bakti sosial, pasar
murah dsb. Membentuk persekutuan atau kelompok ini merupakan kebutuhan pokok
bagi orang-orang beragama. Disamping itu, ia juga tidak dipaksa untuk
menggabungkan dalam persekutuan atau kelompok yang tidak sesuai dengan
keyakinan agamanya.
Kasus yang terjadi: hambatan oleh sekelompok orang
untuk diadakan doa bersama dalam keluarga-keluarga.
g. Dimensi Materi
Seseorang memiliki Kebebasan Beragama, dilihat
dari dimensi materi, berarti orang tersebut dapat, boleh, atau tidak dilarang
untuk menggunakan materi-materi sebagai sarana peribadatannya. Misalnya: lilin,
rosario, salib, patung, air suci dsb. Secara berkelompok, orang tersebut dapat,
boleh, atau tidak dilarang untuk menggunakan bangunan untuk peribadatan, atau
dapat mendirikan bangunan untuk peribadatan. Di samping itu, ia tidak dipaksa
untuk menggunakan barang-barang yang tidak sesuai dengan keyakinannya untuk
sarana peribadatannya.
Kasus yang terjadi: ijin untuk mendirikan bangunan
gereja dipersulit.
3. Batas-batas Kebebasan Beragama
Kebebasan beragama dilihat dari tujuh dimensi di
atas mutlak perlu agar seseorang dapat menghayati agamanya secara penuh. Namun,
demikian apakah itu berarti bahwa Kebebasan Beragama tidak ada batasnya?
Sebenarnya tidak ada satu pihak pun yang berwenang untuk membatasi kebebasan
itu. Satu-satu batas adalah kebaikan manusia, atau kewajaran sebagai manusia.
Pengalaman keagamaan, cerita keagamaan, ritual, hukum atau peraturan keagamaan,
persekutuan, dan sarana-sarana peribadatan, semuanya perlu bagi hidup beragama.
Namun, dengan akal sehat kita mestinya dapat menilai apakah itu semua masih
digunakan dalam batasan kewajaran sebagai manusia.
Pernah terjadi seseorang mengaku mempunyai
pengalaman religius tentang akan datangnya kiamat. Banyak orang dipengaruhi
untuk percaya akan pengalaman itu, dan dipaksa untuk mengadakan ritual untuk
menyambut kiamat tersebut. Tetapi sebenarnya dengan akal sehat, pengalaman
religius demikian tidak mungkin dapat dibenarkan. Praktik ritual yang diadakan
pun sudah amat membahayakan kemanusiaan. Maka dalam hal ini terpaksa harus ada
pihak kepolisian yang membubarkan ritual itu.
Artinya, kebebasan beragaman toh mesti dibatasi
dengan kewajaran dan kebaikan sebagai manusia. Silahkan gunakan akal sehat,
untuk menilai praktik-praktik keagamaan yang masih berada dalam batas-batas
kewajaran dan kebaikan sebagai manusia, atau yang sudah berada di luar batas
kewajaran dan kebaikan sebagai manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar